Jangan Berhenti


Dalam sudut pandang gue, hidup ini terbatas di apa yang ingin kita dapatkan kemudian berdampak kepada apa yang akan kita alami.
Misal, gue ingin menjadi seorang presiden tentu jalan yang akan gue tempuh untuk mencapainya akan berbeda dengan gue yang ingin menjadi pedagang somay. Gue perlu melewati masa-masa kampanye dimana asal-usul gue diungkap ke permukaan, semua kejelekan gue dibahas di publik, kebaikan gue dipertimbangkan, dan lain-lain dan lain-lain.

Ya begitulah hidup. Penuh dengan kumpulan keputusan serta kumpulan rasa ketika melewati fase-fase tertentu. Fase-fase yang gue maksud adalah fase umur. Di tulisan gue kali ini, gue akan sedikit membahas tentang fase tidak enak hidup yang akan kita alami. Blog ini bukan blog pengetahuan umum, blog ini berisi usulan saran untuk menjalani kehidupan, bagi gue usulan-usulan itu sampai sekarang cukup worth it untuk dilakukan. Setiap tahun diameter senyum gue bertambah 0.00001 milimeter. Jadi tidak perlu pembuktian secara science kan?

Salah atau benar soal prinsip hidup itu hanya persepsi, menurut gue. Rasa yang dilewati satu orang saat menjalani suatu kehidupan akan menjadi beda rasanya jika dilakukan oleh orang lain. Itulah kenapa cara hidup tidak bisa ikut-ikut, tidak bisa menjiplak seperti mengerjakan hal teknis, setiap orang memiliki cita rasa masing-masing dan tentu hasil akhirnya berbeda-beda di usia senja nanti. Seberapa tegas cara hidup seseorang menunjukkan seberapa tebal dia sudah menemukan jati dirinya. Tapi barangkali saudara seumat tidak ada ide bagaimana cara menjalani kehidupan, bolehlah membaca blog ini sampai selesai, kali aja menemukan sesuatu.

Oke balik lagi ke fase karena tadi hanya kumpulan kalimat tak bermakna. Fase tidak enak dalam hidup adalah ketika memasuki usia 20 tahun sampai 30 tahunan. Mengapa?

Ingat tulisan soal passion yang gue tulis entah zaman kapan? Ya, passion hanyalah omong kosong atas ketidakmampuan dan ketidakmauan seseorang untuk mempelajari sesuatu, karena faktanya saat gue, katakanlah, bisa lancar melakukan sesuatu barulah gue senang melakukannya. Nggak mungkin gue memiliki passion di futsal ketika bermain futsal saja tidak bisa. Lalu orang-orang menciptakan istilah temukan passionmu untuk mencoba segala hal, yang menghabiskan waktu, yang mana kita harus mencoba satu demi satu untuk menemukan sesuatu kita rasa mudah untuk dilakukan lalu kita menjadi senang melakukannya.

Nah, fase 20-30 ini adalah saat seseorang harus benar-benar memilih satu hal minimal untuk dia jadikan fokus di hidup dia. Benar-benar harus memilih. Kembali lagi menjadi hanya sebuah persepsi, apakah seseorang akan memilih "temukan passionmu" dengan mencoba satu demi satu hal setelah lulus kuliah hingga menemukan satu hal yang ia sukai dan dirasa nyaman atau melamar satu jenis hal untuk kemudian ditekuni apapun kesulitannya tanpa ada rasa suka sebelumnya.

Iya, seseorang dituntut menguasai satu hal minimal sebagai modal menjalani fase kehidupan selanjutnya, padahal di masa-masa ini adalah masa dimana publik akan mulai melakukan tekanan mental soal masa depan kita.

"Oh teman gue yang itu sudah menikah."
"Oalah si A sudah bekerja menjadi pemasok senjata bagi teroris."
"Hmmm si B sudah menjadi traveller dan sepertinya enjoy dengan kerjaan itu."
"Kapan menikah?"
"Calonnya siapa nih?"
"Kerjaan kamu apa?"
"Penghasilan kamu berapa?"


Ya, semua tekanan itu tak jauh-jauh soal duit dan jodoh. Sementara kita sekarang, masih berkutat dengan pilihan apakah kita mengikuti mainstream "temukan passionmu" lalu menghabiskan waktu untuk mencoba satu demi satu hal atau memilih prinsip untuk melamar satu hal dan kita tekuni itu sampai nanti. Entah itu mencari atau melamar, hal itu tuh apa?

Di masa depan akan seperti apa?

Berguna untuk kehidupan tidak?


Membantu banyak orang tidak?

Menjawab ekspektasi orang tua dan pacar tidak?

Menjawab eksprektasi publik tidak?

Membanggakan orang-orang di sekitar gue tidak?

Lalu gue benar-benar bisa bertahan (senang) pada hal itu tidak?


Pertanyaan-pertanyaan itu akan terus berputar di otak kita bersama sampai beberapa waktu ke depan. Lalu yang namanya stess akan mulai menghampiri ketika tekanan dan ekspektasi publik tidak bisa kita jawab dengan hasil kerja atau karya.
Rasa sakit saat gagal, rasa takut mengecewakan, rasa sedih dikecewakan, setiap malam hanya bengong membayangkan besok harus bagaimana, menangis, malu... mulai menjelma menjadi makanan sehari-hari.

Tidak enak kan? Ya makanya tadi gue bilang fase kehidupan ini tidak enak. Itu juga kalau dialami dalam kondisi ideal dalam artian lo punya pacar yang menemani, orang tua dukung lo dengan penuh kasih sayang. Bagaimana dengan yang jomblo dan kondisi lain-lainnya tidak ideal?

Satu hal yang ingin gue bilang, itu semua hal yang biasa terjadi. Biasa. Semua orang akan mengalami. Mau tidak mau. Dia hanya akan memilih ingin bersungguh-sungguh di fase ini atau tidak, benar-benar mengalami luka dan sakit itu tidak.

Pilihan apapun yang dipilih, hidup akan terus berjalan. Dan kita akan tiba di fase selanjutnya, fase dewasa dimana kita akan menikmati hasil apapun yang kita kerjakan di fase 20-30 ini.
Baca kalimat pertama di post ini, Jika dibalik, apa yang kita alami dan kerjakan di masa sekarang akan menjadi batasan terhadap apa yang kita dapatkan di masa depan. Mau kita stess, mau kita berhasil, mau kita berlama-lama dalam kegagalan, mau kita diam saja, mau kita berpikir untuk mencoba hal baru.... Fase selanjutnya akan datang, hidup terus berjalan.

So?

Gagal?

Menangis?

Malu?

Jalani saja, yang penting tidak sampai frustasi dan melakukan hal-hal bodoh seperti bunuh diri atau melakukan eksperimen untuk menjadi superhero. Jangan berlama-lama di kegagalan, gagal ya sudah, berjalan lagi mencoba lagi sebelum fase selanjutnya tiba. Selagi masih bisa, coba saja terus karena hasil akhir di fase 20-30 adalah awal yang sangat menyenangkan atau mungkin saja sangat menyedihkan bagi fase selanjutnya.
Jadi jalani saja dan jangan berhenti. See ya!

G+

Tidak ada komentar

Silakan tulis sesuka lo dan kalau gue nggak suka ya gue hapus sesuka gue.