Pahit dan Manis

Sumber
Gue. Iya gue. Entah kenapa bisa percaya banget dengan ucapan guru SMA dulu bahwa hidup ini disusun setidaknya hanya oleh dua hal, pahit dan manis.
Gue mengangguk polos ketika beliau menyampaikan titah-titah yang bijak bahwa hidup manusia hanya digunakan untuk menghabiskan dua entitas yaitu pahit dan manis tadi. Ya, gue menangguk seakan itu ucapan langsung seorang nabi. Guru gue bilang, keduanya terbatas, intinya hidup kita hanya akan digunakan untuk menghabiskan dua hal itu. Saat salah satu habis, maka sisa hidup kita hanya digunakan untuk menghabiskan satunya.

Guru gue menyarankan untuk segera menghabiskan yang pahit, supaya ketika tua nanti bisa menikmati yang manis-manis saja. Sekali lagi, gue mengangguk. Bahkan gue heran, jika memang benar ada, kenapa yang manis harus ditaruh belakang? Toh sama saja, kita akan merasakan semuanya.

Dalam definisi gue selama ini, pahit di sini adalah rasa lelah yang gue dapatkan karena melakukan sesuatu dengan niat baik, saat gue merasakan nyeri di mata karna kurang tidur, lelah badan dan pikiran karna melakukan hal yang sekali lagi niatnya baik. Itu definisi gue, gue sendiri juga nggak tahu apa yang guru gue maksudkan dengan pahit itu. Tapi toh selama ini, yang ada dalam hidup gue hanya berbuat baik lalu mendapatkan keberuntungan di banyak hal. Itu aja.

Oleh karena gue mengiyakan pernyataan tersebut, gue jadi suka cari-cari kesusahan sekarang. Loh kenapa?
Gue nggak tahu. Ya, ketidaktahuan selalu menjadi hal yang menjengkelkan karna membuat gue harus mengikuti sesuatu yang nggak gue suka.

Gue nggak bisa tahu hal apa yang akan terjadi selanjutnya, apakah itu benar atau hanya omong kosong semata. Gue coba mencari-cari data apakah benar hidup hanya disusun oleh dua entitas itu, dimana saat salah satu habis, maka kita tidak harus merasakan bagian yang sudah habis itu.

Singkat cerita, benar saja, gue suka mencari kesusahan dalam hidup. Gue selalu mengambil bagian tersulit dari sebuah pilihan. Kenapa tidak memerhatikan? Susah bung, saat seseorang sudah mencapai titik tertinggi dalam hidupnya, sulit menemukan dengan hal seperti apa dia bisa sampai di titik itu.

Oke, baiklah, kembali ke kehidupan gue. Sekali lagi, sesaat setelah gue mengangguk beberapa kali dengan omongan guru gue tadi, gue mulai suka mencari kesusahan dalam hidup. Saat disuguhi beberapa pilihan A B C D, gue selalu cari yang paling menyusahkan, yang paling pahit.

Maka, jika benar hidup gue disusun dengan dua entitas pahit dan manis.... Begini,
  1. Gue nggak tahu apakah dua entitas itu ada dalam porsi yang seimbang atau bagaimana.
    1. Gue baru tahu tentang teori itu saat berusia 16 tahun yang kemungkinan besar sebelum umur 16 tahun gue menggunakan keduanya secara seimbang.
    2. Artinya juga, baru mulai usia 16 tahun gue lebih condong menggunakan yang pahit.
    3. Patokan saja, kita gunakan umur Nabi, 63 tahun. 63-16=47 tahun.
    Artinya ada rentang 47 tahun saat gue menggunakan pahit dan manis itu secara tidak seimbang yang dalam hal ini gue menggunakan pahit duluan.

    Mari kita berandai-andai Tuhan itu memberi porsi kedua entitas itu secara seimbang untuk setiap kehidupan manusia, maka otomatis hidup gue akan berakhir 47 tahun lagi. Angka 47 tahun akan dibagi 2 karena gue menggunakan pahit duluan secara lebih banyak dan lebih sering. Katakanlah begitu.

    23,5 tahun. Anjir lama bgt.

    Jika memang benar teori pahit dan manis ini benar, maka setelah gue menjalani hidup selama 23,5 tahun sejak umur 16 tahun dengan menggunakan rasa pahit lebih banyak daripada rasa manis, barulah gue bisa merasakan seluruh rasa manis yang ada.

    Kesimpulannya, gue baru bisa menikmati seluruh rasa manis setelah umur 40 tahun. Dengan catatan umur gue akan berakhir di angka 63.
    Jika gue bisa konsisten menggunakan rasa pahit terus-menerus dan ternyata gue bisa hidup dengan manis-manis-manis sebelum umur 40 tahun, maka kemungkinan umur gue nggak sampai 63 tahun. Haha.

    Tapi semua ini bukan hal yang berarti apa-apa, gue hanya iseng saja. Kali aja memang benar begitu, gue jadi bisa memberikan hal berharga untuk anak gue nanti. Lagipula, hidup gue ini buat apa to? Gue nggak mau cuma jadi sosok egois yang mencari kebahagiaan diri sendiri lalu mati hanya meninggalkan nama, mentok inspirasi dan motivasi kehidupan ke mahasiswa-mahasiswa kehilangan arah tujuan hidup jika ternyata memang gue menjadi orang berhasil di bidang gue. Yaelah. 

    Anak gue nanti butuh lebih dari sekedar motivasi. Gue berkali-kali baca buku motivasi, mendatangi seminar motivasi, yang ada gue hanya diberikan gambaran palsu dan omong kosong. Untuk mencapai suatu titik, masing-masing orang punya cara sendiri. Ya, cara. Dan motivasi bukanlah suatu cara.

    Oleh karena gue nggak mau kayak gitu, makanya iseng-iseng aja memikirkan hal seperti ini. Kalian mau coba? Coba aja. See ya!

    G+

    Tidak ada komentar

    Silakan tulis sesuka lo dan kalau gue nggak suka ya gue hapus sesuka gue.