Pemain Alat Musik dan Dirigen

Sumber
"Dik!" Sapa seorang gadis yang saya cintai sejak pertama kali mengenalnya, meski belum diresmikan oleh Presiden, saya yakin kami saling mencintai. Maudy Ayunda.

"Ngelamun aja, ngelamunin apa?"
"Ah enggak.."

Dia menggandengku, entah mau diajak kemana, tapi masa bodoh asal sama dia mau jadi anggota aliran sesat juga saya jabani. Cinta e, nde. Meh piye?

"Kemana yun?"
"Ayo aku traktir minum kopi biar kamu nggak sedih, biar kamu mau cerita." Ajaknya sambil tersenyum. Manis sekali. Tentu saya langsung beringas. Sekarang saya mengerti kenapa hidup dan cinta adalah dua hal yang tidak sejajar, kadang cinta lagi ambyar eh hidup lagi ganteng pun sebaliknya. Mereka berjalan pararel.

Sampailah kami di sebuah kafe kopi biasanya. Dia memesankan dua cangkir kopi, "Mau kopi apa?" tanyanya sambil membolak-balik menu. Nama-nama kopi asing sekali, saya yang biasanya hanya minum kopi di burjo bingung sendiri.
"Pesenin terserah, kamu tau apa yang aku suka kan?" Main aman, bung.

"Oke mbak, vanilla late satu sama mmmmm *Sebentar, saya suka waktu dia memanyunkan bibirnya untuk mengisyaratkan bahwa dia sedang berpikir, aduhduh lemes badan saya* caramel macchiato satu."
Mbuh, saya nggak ngerti dia pesan apa. Kuliah di luar negeri membuatnya fasih ngomong yang seperti itu. Mbak-mbak pelayan yang murah senyum itu kemudian mencatat pesanan dan kembali ke dapur.

"Kopiku nggak kamu campur sama sianida kan?"
"Ahahahaha ya enggaklah, ngeracun kamu mana mempan pake sianida."

"Alhamdulillah, eh tapi ini ditraktir toh?" Maaf, bung, bukannya saya termasuk cowok nggak modal. Tapi namanya juga hidup.
"Enggak, nanti kamu cuci piring."
"Emg di sini ada piring? Ini kan warung kopi."
Mukanya berubah ilfeel, lalu dia menoleh ke meja di samping kami dan benar saja, ada piring.

"Jadi?" Dia memulai topik baru dan berusaha mewawancari saya.
"Jadian? Alhamdulillah Gusti, akhirnyaaaa." Eh tangan saya yang ada di atas meja sambil mainan tisu dicubit. Bukan, bukan sakit tapi horny. Ehehe.

Belum sempat saya mulai bercerita, kopi pesanan datang. Saya dipesankan vanilla late, sruuuupppss saya menyruput kopi dari cangkirnya. Wuenak tenan. Saya pura-pura kejang tapi dia terlampau pintar, tidak tertipu dan malah tertawa.

"Yun, kamu pernah merasa nggak kreatif lagi?"
"Kadang, emg kenapa?"
Seperti biasa, saya mulai duduk bersila di kursi kafe itu. Biar enak.
"Aku kadang ngerasa nggak kreatif lagi, umur segini aku belum bisa buat apa-apa."
"Emang kamu mau bikin apa dik?"
"Keluarga kecil sama kamu."
Saya dicubit lagi, horny lagi.

"Aku nanti bakal jadi kepala keluarga, gimana ya, bingung aja. Kuliah juga ndak menjamin apapun. lihat saja IP milikku itu turun terus kayak orang terjun bebas."
"Coba liat.." Dia merebut handphone saya lalu membuka portal nilai kampus. Saya pasrah. "IP kamu nggak jelek-jelek amat kok."

"Ya jelek bagus itu persepsi, aku hidup pakai fakta, faktanya IP di kuliah segitu. Aku nggak bisa hidup di masa depan dengan bertumpu sama itu aja, keahlianku di bidang ini juga biasa aja. Aku berusaha melakukan hal berbau seni, tapi cuma beberapa yang jalan itupun jalan pelan."
"Hus, kamu itu ngeluh mulu. Bersyukur deh coba. Tiruin aku sini. Alhamdulilaaaah sudah bisa kuliah, sudah bisa bikin beberapa hal."
"Iya, alhamdulillah." Jawab saya masam.

"Dika, kita nonton film Steve Jobs kan berdua, kamu inget apa yang Jobs bilang soal main alat musik?"
"Iya, orang-orang di belakangnya hanyalah pemain alat musik, Jobs yang menguasai orkestra."
"Nah!" Dia mengacungkan jarinya ke atas sambil tersenyum manis. Ah, terima kasih Tuhan sudah mendekatkan kami.
"Nah?"
"Kenapa kamu terus berusaha ahli dalam sesuatu? Orang-orang seperti aku ini hanyalah pemain alat musik dik, yang aku bisa hanya memainkan satu alat musik. Makanya aku gampang berhasil karna hanya mempelajari alat musik. Kamu bakal jadi lebih dari aku."

"Kamu yang membintangi banyak iklan, menang banyak penghargaan, punya banyak album, jutaan followers twitter, dan pemain film ini? Lebih dari kamu?"

"Kepala keluarga selalu lebih dari istrinya. Bukannya gitu?"
"Ih, tukang php. Katanya dulu kuliah satu kampus kamu malah ke oxford, sekarang bilang kek gitu. tai ah."
"Aku kan sekolah dik, bukan ninggal kamu nikah, kenapa kamu masih aja marah? Intinya ya itu tadi dik, jadi dirigen kehidupan. Buat apa kamu susah-susah belajar suatu alat musik tapi nantinya cuma memperebutkan satu kursi dan bisa diganti kapan aja. Lihat dirigen, cuma naik turunin tangan, bahkan kita nggak tahu apakah dia bisa main semua alat musik di suatu pertunjukkan atau enggak, yang penting tangannya naik turun. Dan dirigen selalu tidak tergantikan. Why don't you be like that?"

"Aku bisa po?"

"Bisa, dirigen cukup jadi dirigen. Jadi orang yang bukan pengikut. Jadi orang yang mengagas sesuatu. Jadi orang yang selalu punya ide baru. Ya, sama seperti apa yang kamu suarakan di blog selama ini."

"Wahahaha, iya deh makasih ya semangatnya."

"Nah gitu dong, jangan peduli sama nilai C di IP kamu. Kamu bilang sendiri kan, apalah arti nilai. Aku yakin sama kamu dik, itu kenapa aku nggak segera jadian sama bule-bule ganteng di sana."

"Tapi kamu juga nggak jadian sama aku?"

"Mmmmm iya deh aku mau jad....... Dikaaaa! Bangun!" Suara mama teriak-teriak membangunkan saya. Ternyata. See ya!

G+

Tidak ada komentar

Silakan tulis sesuka lo dan kalau gue nggak suka ya gue hapus sesuka gue.