Misteri Yang Terungkap

Sumber
Natal dan akhri dari tahun 2015 ini sedikit berbeda bagi gue, entah kenapa keluarga dari nyokap bisa semua berkumpul dan bersama pergi ke rumah nenek untuk berlibur dan menginap di sana. Layaknya cerita dongeng imajinasi anak kecil, rumah nenek gue terletak di pegunungan, ada pagar dari kayu di bagian depan dan bahkan rumahnya berdiri sebagian besar dengan fondasi kayu jati yang nampak seperti duit dimana-mana.

Di sana ada pohon rambutan yang mampu membuat gue horny jika buah-buahnya sudah matang, ada pohon sirsak, pohon durian, pohon petai, pohon yang entah apa namanya gue nggak begitu kenal karena dia sedikit anti sosial. Ketika ingin mandi juga masih harus menimba dari sumur yang sangat dalam, sedalam rasa cinta ini untuk dirimu, dek.

Saat upacara bakar-bakar sate dimulai, dikeluarkanlah beberapa jenis daging dari mobil. Di sana ada daging berbentuk ikan lengkap dengan kepala dan ekornya, insting manusia gue berkata bahwa ini ikan kakap dan benar saja itu kakap. Ada juga daging yang sudah dilumuri bumbu sate, dalam hati, "wah gila, kalau ini daging kambing bisa meneteskan air liur sembarangan gue."
Belum sempat bertanya apakah daging itu kambing atau bukan, tante berkata, "Ini babi, haram lho buat kamu wkwkwkwkw.".

Eek.

Gue pernah lulus pramuka dan mampu bertahan hidup dari sengatan nyamuk hutan saat camping, makanya gue langsung menyalakan api. Dan walaa, arang sudah membara.
Entahlah, sebagai orang islam gue bukan kok tidak suka babi karena dilarang tapi lebih karena logis bahwa babi semasa hidupnya seperti apa belajar dari pelajaran biologi waktu SMA.
Gue pernah baca status di sosial media. Di status itu diterangkan bahwa kangkung yang masih terdapat telur lintah lalu termakan lalu lintahnya tumbuh dan berkembang di dalam perut. Edan. Hoax atau bukan, sejak saat itu hubungan gue dengan tumis kangkung menjadi tidak begitu baik. Logika yang sama menjadi alasan kenapa gue nggak pernah jadian sama babi.

Oke, singkat cerita kita semua berkeluarga makan hasil bebakaran. Lalu masuklah di sesi bercerita dimana di situ, kehidupan gue di masa kecil yang tidak gue ketahui terungkap.

Yang pertama adalah ketika gue hendak dilahirkan. Kala itu lagi hujan, bung. Lelaki tampan berusia 9 bulan sedang berjuang mencari jalan keluar untuk menerjang dunia. Bokap gue datang ke rumah bu bidan untuk membantu nyokap gue supaya lebih bersemangat.
Gue sendiri, waktu itu kesulitan bro, sist, mencari jalan keluar. Rumit juga keluar dari rahim seorang ibu.

Waktu bokap gue masuk ke ruang bersalin, nenek gue bilang ini, "Sudah to, kamu keluar saja daripada istrimu nanti ndak kuat.".
Bokap gue protes dalam hati, "Lah mana ada hubungannya wahai ibu mertua?". Hehe. Akhirnya malah semua keluar.

Nyokap gue hampir menyerah waktu itu. Eh gue nggak lagi ngarang lho ini, cerita didapatkan dari saksi hidup dan bahkan yang mengalami kejadian yang bersedia dimintai keterangan tanpa minta imbalan dalam bentuk apapun. Kalian tentu tahu sendiri.

Pakdhe, bokap nangis saat itu. Bayangkan ketika kita punya istri yang sedang melahirkan tapi dia menyerah untuk mengeluarkan anak kita. Nangis.

Lalu entah gue dipancing dengan umpan seperti apa, gadis cantik mungkin, akhirnya lelaki yang sedang menulis tulisan ini keluar dengan kondisi yang bikin nangis lagi. Gue nggak nangis waktu pertama kali bersentuhan dengan dunia luar. Nah loh, semua orang bingung lagi. Haha.
Ternyata bukan apa-apa, gue cuma kebanyakan kemasukan air-apa-ya-namanya di mulut, walhasil gue terlalu kesulitan untuk menangis. Coba deh situ, nangis tapi mulutnya diisi air sampai penuh. Sulit kan? Ya kan?
Setelah cairan itu dikeluarkan, menangislah gue dengan lepas, bebas, dan puas. Horay!

Masa bayi gue dilewati layaknya bayi biasa. Nenen, eek, nangis, pipis, nenen lagi dan lagi dan lagi. Tapi berdasar cerita narasumber terpercaya, pernah gue waktu bayi dan sedang bugil, nenek gue yang menjadi mertua dari bokap gue tadi mendekatkan muka ke gue. Eh selang kebanggaan gue lagi rusak dan sulit di atur, gue pipis ke mulut nenek. Wahahahahahaha, anjir, resek sekali gue ini.
Untung saja tidak diambil hati, kalau sampai berdoa kepada Tuhan, jadi kerikil gue waktu itu.

Lambat laun gue tumbuh menjadi balita yang baik dan menurut kepada perintah orang tua. Kemudian ada narasumber lain yang menambahi seperti ini, "Dulu paling males kalau disuruh jagain dika di rumah, hobinya berdiri di pojokan rumah diem aja taunya boker di celana.".
Benar juga, bung. Wajar balita eek di celana, tapi kenapa ya harus berdiri di pojokan rumah? Kenapa? *Ngaca*

Lalu ada narasumber lain yang tidak mau kalah saat menceritakan masa lalu, dalam hal ini gue lagi yang jadi objek.
"Dulu dika kalau disuapin neneknya biasa aja. Pas ada ayam lewat lalu eek nggak ada angin nggak ada petir tiba-tiba hooeeekk(mempraktekkan orang muntah)."
Olah TKP-nya seperti ini:

Gue lagu makan disuapin seperti di bawah ini.
Sumber
Kemudian ada benda seperti di bawah ini yang eek.
Sumber
Jadilah gue seperti ini.
Sumber
Masa balita gue lebih banyak dihabiskan di dalam sebuah kolam tanpa isi. Ya, saat kedua orang tua gue sedang bekerja, otomatis gue harus bersama nenek sang mertua bokap tadi. Konon, waktu balita gue nakal banget njir, suka lari-lari ke jalanan sendiri (yaiyalah, masa sama pacar). Nenek gue yang dulu punya kolam ikan di depan rumah, yang juga sudah muak dengan tingkah laku gue akhirnya memiliki ide gila yang tidak pernah dipikirkan nenek di belahan dunia manapun.

Daripada merantai gue dan terduga sebagai orang yang melakukan tindakan kekerasan kepada anak dan harus berurusan dengan kak Seto, wah yasudah gue langsung dimasukkan ke kolam ikan itu. Gue samar-samar inget di scene masuk kolam ini. Gue beserta mainan gue dimasukkan ke dalamnya. Cara ini terbukti efektif untuk mengatasi balita seperti gue.

Dulu, waktu nenek gue udah selow gitu gue diangkat dari kolamnya. Semua nampak seperti saat gue ada di lubang keterpurukan lalu ada sosok yang menolong dan mengulurkan tangan. Entahlah. Yang jelas gue hidup di kolam ikan. See ya!

G+

Tidak ada komentar

Silakan tulis sesuka lo dan kalau gue nggak suka ya gue hapus sesuka gue.