Belajar dari Tubuh

Sumber
Pagi ini entah kenapa, perut gue sakit banget. Mendadak keringat dingin keluar dari beberapa pori-pori. Pikiran gue mulai random, mikir kalau gue hamil anak onta sampai ada yang menanamkan chip peledak ke usus waktu gue tidur semalam sebagai upaya dari pemusnahan umat manusia.

Tapi gue berusaha mengendalikan diri untuk tidak panik. Mulanya, gue berusaha berkuasa lagi di otak gue yang sudah diambil alih rasa takut dan imajinasi karena banyak baca tulisan konspirasi. Akhirnya otak kesayangan ini berhasil direbut kembali.

Gue cari-cari di direktori file soal penyakit yang pernah masuk ke tubuh. Setelah masuk ke folder Dika/Tubuh/Sakit/Perut gue menemukan sebuah file yang memuat isi, dimana isinya adalah ciri-ciri dan ternyata sesuai dengan apa yang dirasakan pagi tadi. Ya, rasanya seperti ditusuk jarum di bagian perut dan kondisi saat itu gue belum makan pagi. Langsung dapat ditarik kesimpulan bahwa gue telat makan dan berarti asam lambung gue meronta dan demo di dalam sana.

Intinya ya gue cuma lagi lapar. Yaelah.

Tapi dari asam lambung ini gue belajar satu hal, "Bahwa yang selama ini berusaha membantu bisa saja berubah jadi merusak."

Beberapa hal di dalam tubuh manusia yang awalnya membantu bisa saja akhirnya merusak bahkan membunuh jika tidak diberi perlakuan yang baik.

Sel tubuh kalau tidak diberi salam setiap hari bisa-bisa ngambek lalu membelah terlalu banyak, di otak, kanker otak. Nahlo.
Leukosit juga tidak kalah keren jika lagi marah, bung.
Asam lambung, bakteri E. Coli juga bisa saja.
Atau lemak juga bisa, awalnya sebagai tempat cadangan makanan karena tidak diperhatikan ngambek lalu masuk ke pembuluh darah. Stroke.

Hal ini membuat gue curiga bahwa kebanyakan manusia mati karna hal yang ada di dalam tubuhnya sendiri. Mati karna tubuh sendiri. Mati karna darah sendiri. Mati karna cairan sendiri. Mati karna perilaku sendiri. Mati dalam keadaan sendiri, jomblo. Hehe.

Dari semua ini, gue termenung.
Semuanya seperti terdiam, seakan dunia manatapku secara tajam dan....


Ah elah anjir wkwkwkwk idenya cuma mentok sampai situ.

Hal ini mengajarkan ke gue bahwa Tuhan selalu memberi kemampuan merespon di segala hal yang Beliau ciptakan.
Yang seperti cerita ibu guru SD itu loh, bahwa ketika kita jahat ke alam, kita merusak alam, maka alam juga akan menghancurkan kita semua melalui bencana alam.

Benar sekali, semua hal di dunia ini memiliki kemampuan merespon.

Dengan dasar kalimat dicetak miring di atas, gue paham kenapa dulu sekali nenek selalu mengajarkan untuk berperilaku baik entah ke benda hidup atau benda mati sesuai agama gue yang dulu. Tapi gue diberi kalimat sahih kayak gitu dulu waktu masih kecil dimana gue selalu mengartikan segala hal secara bahasa. Tentu saja langsung mempraktekkan hal itu.

Iya, gue jadi baik ke orang lain dan benda mati.
Pohon mangga gue peluk, gue cium. Bunga anggrek gue elus-elus. Gue gandengan tangan sama batu. Gue juga berusaha menjadi air yang mengalir, akhirnya mandi di kali yang berakibat gue dipukulin pakai sapu lidi sama nenek.

Gue mau marah waktu itu karna merasa dipermainkan, tapi nggak berani, mari renungkan bahwa gue akan marah ke nenek. Nyokap dari nyokap gue. Nerekanya dua kali pemanasan. Men666erikan.
Tapi namanya juga nenek, setelah mukul, gue dibuatkan susu hangat dan disuruh tidur.

Betapa jangan pernah memukul anak kecil, bung. Gue dipukul ketika berumur lima tahun dan sekarang, di kondisi gue siap menghamili seorang wanita, gue masih inget banget prosesi pemukulannya mulai dari gue menginjakkan kaki di rumah dengan keadaan basah kuyup sampai minum susu. Jangan pernah.

Gitu deh.

Dengan pengetahuan bahwa semua benda berpotensi melakukan respon terhadap perilaku kita, berhati-hati saja. Ini bukan masalah takut nggak takut. Bukan berarti gue menjadi baik itu karena takut mendapat hal buruk sebagai hasil dari respon benda di sekitar gue.
Bukan.
Gue cuma nggak mau menanggung malu.

Gue malu ketika ternyata gue harus mati karena organ tubuh gue sendiri, gue nggak mau mati karena dibunuh sama tubuh gue sendiri. Itu nggak keren.
Gue juga malu ketika gue nyampah, ketika gue buang-buang energi, ketika gue merusak alam... lalu pada akhirnya gue mati karena bencana alam.

Bukannya mau memilih cara mati mau bagaimana. Itu di luar kuasa gue. Tapi sekali lagi, perilaku itu lebih dari doa yang selalu dipanjatkan. Gue berdoa mau hidup sehat, mau umur panjang, tapi perilaku gue kayak sampah. Diem aja, makan nggak sehat, tidur, malas-malasan. Bah. Bacot doang kerja, tubuh diem kek kemaluan sapi.

Ini bukan masalah apapun, selain gue malu ketika mati karna dibunuh oleh benda yang selama gue hidup, gue perlakukan secara buruk. See ya!

G+

Tidak ada komentar

Silakan tulis sesuka lo dan kalau gue nggak suka ya gue hapus sesuka gue.