Obrolan Tentang Terompet
![]() |
Sumber |
Jadi, orang baik takut mati karna memikirkan yang ditinggal, orang jahat takut mati karna memikirkan siapa nanti yang dipikirkan orang baik kalau dia mati duluan.
Kadang saya melihat Tuhan di setiap kekaguman mata ini kala memandang keindahan, di setiap damai hati ini dalam alunan nada yang berbaris rapi masuk ke telinga, di setiap hembus napas, hingga di setiap kejutan yang ada. Tidak bisa mengerjakan ujian tengah dan akhir semester, eh dapat A, misalnya. Ada bantuan Tuhan, saya yakin, di kejadian seperti itu.
Belajar dari itu, kini saya berusaha merasa hina dalam keadaan apapun, ya meski hina sungguhan, tapi sedikit melodrama boleh juga.
Mengingat begitu banyak kejutan yang Tuhan berikan di setiap usaha dan doa yang tidak dihitung dibarengi tindakan merasa tidak mampu seperti masalah ujian tadi. Tentunya sambil nabung kesucian, toh?
Ide itu saya rasa, sangat tepat guna untuk menghadapi kemajuan teknologi dan persaingan yang semakin ketat dalam rangka berkarya.
Beberapa hari lalu saya punya sebuah obrolan sama mbak Miyabi di sebuah kamar kosan. Dalam sesi obrolan sekitar 25 menit itu kami pernah membahas mengenai hal berbau terompet.
Wanita negeri sakura yang owsom itu bertanya, "Sudah siap kalau terdengar suara terompet?"
"Hah?" Saya kaget karna masih kesulitan menelan lidah saat memandang matanya. Dan kakinya.
"Kiamat maksudnya?"
"Iya, siap belum?"
"Wealah mbak, ya mana bisa saya siap. Saya ini masih hina sekali. Saya sudah berusaha menjadi baik, meski perintah Gusti belum bisa sempurna dilakukan ya minimal saya tidak pernah berurusan dengan larangan-Nya."
"Menurutmu kenapa susah jadi muslim yang taat?" Duduknya mulai dimepetkan ke saya. Seperti kesetrum saat hembusan nafasnya mengenai kulit saya.
"Ya gini toh mbak, ibadah itu ibarat menyiapkan jamuan dan tempat bertamu kepada Gusti. Biar Beliau mau berbaik hati memasukkan saya ke surga. Nah mungkin semua orang belum bisa menjadi penata ruang dan makanan yang baik."
"Nabi Muhammad bisa, beliau manusia kenapa kamu ndak bisa?"
"Waaa lha mbak ozawa ini cantik tapi ngawur. Saya dibandingkan Nabi. Nabi pernah diajak melihat surga, pernah diajak study tour ke sidratul muntaha sama Gusti. Nah saya? Ke luar pulau Jawa saja belum pernah mbak."
"Lantas bagimana kamu menghadapi kiamat?"
"Lha mbak sendiri gimana?"
"Aaaww, kamu ini ditanya kok malah nanya." Mbak miyabi berkedip ke arah saya. Kemudian dia memberi isyarat untuk menghentikan sejenak ngobrolnya karena dia mau minum.
Dia minum langsung dari botol mineral. Dari situ saya tahu keahlian mbak miyabi di bidang apa.
"Saya memang belum tahu banyak hal, mbak. Tapi saya berusaha cari tahu. Saya juga bukan orang paling benar dan baik. Paling suci. Yang berhak memberi justifikasi bahwa suatu kaum itu kafir dan lebih baik musnah saja dari muka bumi."
"Maksudnya?"
"Ya misalnya, ngapunten nggih, mbak miyabi kan panggaweanipun rada hot toh mbak. Saya nggak berhak mengatakan mbak miyabi ini perusak moral anak muda, manusia yang dilaknat Tuhan, atau manusia yang kotor. Saya dapat hak dari siapa? Sesuci dan sebaik apapun saya kalau mbak miyabi nggak memberi ancaman berarti ya saya tidak berhak berkomentar soal hidup sampeyan. Urusan pemuda yang nonton film mbak moralnya rusak ya siapa suruh nonton? Masalah itu kayak penyakit toh mbak?
Daripada pusing mikir apa penyebabnya mending mikir bagimana menyembuhkan dan mencegahnya toh mbak? Terus kenapa mereka jadi benci sama mbak Miyabi karna pekerjaan mbak? Kenapa mereka tidak mengurus cara menyembuhkan dan mencegah yang lain tanpa mengganggu pekerjaan dan kehidupan sampeyan?"
"Wah iya ya." Mbak miyabi mengangguk manis.
"Seperti kasus di Papua kemarin. Kualitas manusia jadi kelihatan dari bagimana cara meresponnya. Yang merespon hanya dengan menyebar fitnah soal keagamaan tanpa tahu masalah aslinya, yang asal menekan tombol share di media sosialnya, yang asal nuduh suatu kaum, yang kebanyakan analisa soal apa penyebabnya... Kan kelihatan kualitasnya sampai mana dibanding yang langsung mencari solusinya, bagaimana membangun lagi apa yang sudah rusak dengan menggalang dana bantuan."
"Kamu pinter juga, dik. Jadi gemes pengin nyubit." Wah saya sudah tidak tahan lagi. Harus eksekusi ini. Tapi mbak miyabi menggagalkan aksi saya dengan satu senyumnya.
"Lantas bagaimana soal kiamat tadi, dik?" Dia melanjutkan.
"Ya gimana ya mbak. Saya ini lebih baik tidak tahu sampai dimana posisi saya di mata Gusti. Sudah siap atau belum buat mati. Mending saya tidak tahu.
Saya pernah mengalami kehidupan dimana saya sangat semangat melakukan sesuatu, begitu tahu posisi saya sudah di atas saya malah loyo dan malas-malasan.
Jadi ya gitu mbak. Sampai terompet ditiup mending saya tetap berusaha. Berkarya, belajar, membantu banyak orang, hidup tanpa kebencian kepada orang lain, tertawa selalu, ya pokoknya yang baik-baik mbak tanpa lupa beribadah."
"Andai kata masuk neraka gimana? Mau nemenin aku?"
"Wooohh astagfirullah mbak. Jangan sampai. Tapi andai kata iya, ya mau bagaimana? Tuhan lebih ngerti masalah masuk-masukin ke mana mbak, neraka atau surga. Kalau dapat neraka ya nangis pasti saya. Tapi mending saya merasa pantas masuk neraka mbak daripada merasa paling suci dan siap masuk surga. Tuhan juga suka memberi kejutan. Nanti saat saya merasa baik lha malah diberi kejutan masuk neraka, kan apes. Hahaha."
"Iya juga ya. Hahahaha. Kira-kira aku gimana ya?"
"Gimana apanya mbak?"
"Ya nanti kalau kiamat."
Belum sempat menjawab, eh buffering. Mlz deh. See ya!
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Silakan tulis sesuka lo dan kalau gue nggak suka ya gue hapus sesuka gue.