Menghadapi Zaman Penuh Debat
![]() |
Sumber |
Jika tuan dan puan yang baik hati menginginkan contoh, alangkah bijak jika pergi ke beberapa kolom komentar di laman-laman yang mengangkat topik agama dan seks, atau di website seperti youtube di video dengan topik yang bung/nona anggap sensitif juga.
Jika sudah ditonton dan dinikmati apa yang disajikan oleh author-nya, cobalah membaca komentarnya, niscaya saudara akan mendapati rasa yang lebih dari horny di lubuk hati yang paling dalam.
Tidak percaya? Percayalah hehe.
Ini artinya, kita sedang berada di zaman setiap ide akan didebat. Mungkin saja ini pertanda bahwa bangsa(t) ini sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Nah, masalah yang tumbuh dan berkembang itu moral atau kepicikan ya mana saya tahu, bung!
Dengan dasar di atas, terciptalah tulisan ini. Saya hanya ingin berbagi hal-hal yang sebaiknya dilakukan untuk menghadapi zaman yang ngeri tadi. Maka, saya akhirnya membaca lini masa kakanda hafidz ary yang paling ngerti masalah debat-mendebat, bagaimana tidak? Beliau adalah penggerak Indonesia tanpa JIL pastilah sering mendapat kesempatan melakukan debat kusir yang berkelas. Saya berusaha menimba sebanyak mungkin ilmu untuk dituangkan ke tulisan ini.
Pada akhirnya saya memiliki dua pemikiran untuk menghadapi zaman ini.
Baiklah. Pemikiran pertama adalah yang panjang ini...
Hal yang pertama dilakukan adalah mampu membedakan mana komentar mana kritik. Jangan sampai kita melakukan hal memalukan dengan mendebat sebuah komentar. Ya gitu. Lalu, baca niat untuk menyebarkan ilmu dan berbagi wawasan. Karna di kacamata saya, yang terlihat di dunia sekarang hanya untuk menjatuhkan satu sama lain.
Jika benar terbukti bahwa pernyataan yang diberikan kepada kita itu hal yang patut didebat, jangan buru-buru menanggapi, tunggu sebentar, siapa tahu ada orang lain yang mau menanggapi dan sejalan dengan kita, kan tidak perlu capek-capek ngetik. Hehe.
Ide kedua yang saya punya adalah jangan emosi. Sederhana, jika karyamu, dirimu, pemikiranmu didebat lalu kamu emosi, wah yowis, saya jamin yang keluar dari selanjutnya dari tubuhmu hanya kebencian dan hal nggak penting.
Jangan sampai saya dan saudara menjadi bigot penyebar kebencian yang menghabiskan persediaan oksigen di bumi.
Jika berhasil menahan emosi, cobalah pergi ke kamar, berdiri di depan cermin dan diam
Capek-capek berjuang ternyata di pihak yang salah, kan bego. Meski saya kadang berkeyakinan yang benar dan yang salah di dunia fana ini memang tidak ada.
Pada akhirnya, setelah memutuskan dengan bijak bahwa ada hal yang patut didebat, sudah tidak dalam pengaruh emosi, dan yakin bahwa berada dalam pihak yang benar, maka tentu saja selanjutnya adalah berbagi argumen yang sehat dan menyehatkan.
Di bagian ini, ide saya adalah menggunakan fakta sebagai argumen.
"Antek asing mana bisa jadi presiden! Kasian rakyat!" adalah contoh argumen yang tidak hanya lemah tapi juga menjijikkan. Saya ngerti, dalam hal ini, pak Jokowi selaku presiden memang tidak sempurna, tapi melempar argumen seperti tadi adalah selemah-lemah pikir.
Kan bisa menyerang sisi ekonomi yang beliau urusi atau sisi pariwisata atau mbuhlah banyak lainnya yang belum baik kok. Haha!
Ya gitu deh, pokoknya bawa fakta. Kalau debat masalah agama ya bawa dalil. Demi mewujudkan dunia yang damai dan sejahtera bolehlah menghindari menggunakan keyakinan dalam berdebat. Memang apa toh yang bisa diperdebatkan dari sebuah keyakinan?
Kalau kamu yakin dan saya tidak, ya sudah kita jalan secara pararel. Gitu.
Saya pernah heran kenapa beberapa waktu lalu banyak orang menghujat bunda lia eden karna keyakinannya.
Misalnya, ketika ada orang berkampanye anti rokok dengan argumen bahwa rokok itu sumber bahaya yang membawa kematian dekat kepada kita. Lantas mereka menyertakan gambar paru-paru perokok, misalnya.
Jika frekuensi otak saya sedang sama dengan milik jonru, mungkin saya akan bilang, "Tolong hentikan bullshit itu! Saya tidak merokok! Nggak bisa lebih tepatnya! Dasar antek asing! Kafir!"
Tapi, yang saya akan saya lakukan adalah membantah dengan argumen sehat bahwa itu salah. Saya berdasar pada angka kematian dalam setahun akibat rokok 405.720 di Indonesia, setelah dibagi jumlah penduduk ternyata kok mendapat perbandingan katakanlah 1/500 orang, yang artinya setiap 499 orang yang anda kenal hanya ada satu orang perokok per tahun yang mati itupun belum tentu karna rokok secara langsung, bisa saja terpleset di WC.
Gitu sih. Itu pemikiran pertama.
Pemikiran kedua adalah tidur dan tidak mau tahu tentang apa yang sedang terjadi di negara ini. Bukankah menghadapi suatu kondisi bisa dilakukan dengan dua hal, menyelesaikan atau lari dari hal itu?
Masalah bung/nona memilih menyelesaikan atau melarikan diri ya itu masalah keyakinan, tidak perlu saya debat. See ya!
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Silakan tulis sesuka lo dan kalau gue nggak suka ya gue hapus sesuka gue.