Belajar Merasakan

Sumber
Menurut saya....

Mungkin impian untuk melihat dunia yang damai masih sangat sulit atau bahkan memang musthail karna tidak ada rencana Tuhan untuk menciptakan tatanan dunia yang damai bagi umat manusia. Mbuh.

Ego masing-masing orang di dunia ini terlampau kental dan menggumpal di dalam diri dan pikiran masing-masing. Satu-satunya pelarut yang nyata adalah ilmu dan pengetahuan karena bisa menciptakan toleransi tinggi dalam kehidupan horizontal.
Sayang saja, tidak semua penghisap oksigen yang mampu mikir bisa dipastikan mau mikir. Alhasil, muncullah bigot-bigot yang sebaiknya tidak perlu berkembang biak penebar kebencian.

Menggunakan agama dan moral sebagai baju perang, mereka memerangi semua hal yang tidak sejalan dengan ideologi mereka. Kalau menggunakan argumen dan alasan yang bagus gitu toh tidak apa-apa, lha jangankan bagus, argumen mereka itu lebih jorok dari payudara kuntilanak.
Maaf-maaf. Saya terlalu emosi.

Mungkin di pikiran mereka yang lumayan sempit itu, arti kata damai tidak bisa diwujudkan dengan banyaknya perbedaan yang bisa berjalan secara pararel dengan baik. Mungkin mereka terlalu susah menerima perbedaan karena jarang menggunakan otak untuk menghargai keberadaan orang lain.

Oleh sebab itu, alangkah baiknya saya menyampaikan ide ini karna saya masih berharap bahwa dunia yang damai akan terwujud suatu saat nanti.

Belajarlah merasakan, tuan dan puan.

Gampang toh?

Logikanya segampang bahwa ketika teman kamu tidur lantas kamu memiliki niat ingin memasukkan cabai ke hidungnya, kemudian ada hubungan pendek arus listrik yang terjadi di otakmu, "Aku tidak ingin digitukan kalau lagi tidur.". Pada akhirnya kamu tidak jadi melakukan hal tadi kepada temanmu.
Sesederhana itu lho. Bedanya dengan toleransi apa?
Toleransi adalah menerima perbedaan karna mengerti semua pembandingnya, daya cakupnya cenderung ke arah luar. Belajar merasakan adalah membayangkan diri sendiri dalam suatu kondisi, daya cakupnya ke dalam. Menurut saya lho.

Menurut saya, mencoba menggunakan sedikit saja kemampuan otak untuk sedekar membayangkan menjadi orang lain, ketika kita ingin melakukan tindakan kepada orang lain tadi adalah hal baik.

Bung, nona boleh saja berargumen bahwa LGBT itu dilarang agama, saya setuju sekali. Apapun yang ditolak oleh agama saya, maka dengan tegas saya menolaknya.
Tapi jika itu dilakukan dengan luapan kebencian dan hinaan yang tidak manusiawi, rasanya kok bung, nona itu mirip binatang.

Entah kelainan gen atau karna lingkungan yang menyimpang, jujur saya nggak peduli, ketika ada orang yang orientasi seks-nya homo, lalu anda hina dan bully, pernah tidak membayangkan jika anda di posisi dia?
Coba deh bayangkan kalau ternyata bung, nona menjadi homo karna hal yang tidak bisa bung, nona kendalikan. Bisa membayangkan toh?
Entah karna lingkungan yang kasar atau mbuh dari mana penyebabnya tapi itu di luar kuasa untuk dikendalikan.

Saya belum pernah dengar pelatihan jadi homo, makannya saya beranggapan bahwa semua homo itu tidak menghendaki dirinya jadi homo dalam keadaan sadar.
Lantas mereka dihina dan dibully? Dijauhi? Dianggap kotor?

Menolak itu cukup dengan mengajak mereka jadi benar kembali dalam dua sampai tiga kali ajakan. Kalau tidak mau ya biarkan mereka menjadi apa yang mereka mau dan diam saja. Biarkan semua berjalan beriringan.
Yang jelas, saya menolak LGBT. Tegas. Jelas.

Belum lagi masalah perasaan.
Jangan melakukan tindakan keji berupa melukai hati-hati jomblo yang pesakitan itu. Termasuk saya.
Saya sangat percaya bahwa mengembalikan apa yang kita berikan ke alam. Jomblo itu termasuk alam. Yakali. Hehe.
Ketika kita menebar kebaikan, maka mendapat tabungan kesucian yang suatu saat bisa ditukar dengan keberuntungan. Pun sebaliknya, saat melakukan kejahatan (Terutama masalah cinta) siap-siap saja menabung keburukan yang suatu saat bisa nguntal hati bung, nona. Forza jomblo!

Sekali lagi, menurut saya....
Ide belajar merasakan ini perlu disebarluaskan mengingat toleransi sudah terlampau sulit diterapkan karna perlu wawasan yang luas. Belum lagi jika harus melihat orang-orang macam hafidz ary yang gemar berdebat itu, harapan saya tentang toleransi makin kecil.
Saya bahkan curiga bahwa jika setiap orang mampu menerapkan pelajaran merasakan ini, kedamaian lebih cepat tercapai dibandingkan jika setiap orang memiliki tingkat toleransi tinggi.

Ini hanya ide. Saya hanya berusaha mewujudkan tatanan dunia yang tidak penuh dengan prasangka buruk dan kebencian.
Baik merasakan ataupun toleransi ini tujuannya sama yaitu menahan untuk menyebar kebencian kepada orang lain. Hanya itu yang saya ingin sampaikan perihal kedamaian dunia.
Selebihnya tunggu saja ide-ide lain. See ya!

G+

Tidak ada komentar

Silakan tulis sesuka lo dan kalau gue nggak suka ya gue hapus sesuka gue.