Dunia Kuliah

Sumber
Di jurusan gue, tiap ujian tengah semester atau ujian akhir semester seringnya menggunakan sistem ujian yang buku tertutup. Menurut beberapa dosen nilai para mahasiswa lebih bagus di jenis buku tertutup daripada yang buku terbuka. Loh kok bisa? Gue langsung protes nggak terima kepada data yang ada.

Jelas-jelas yang satu lihat referensi sementara yang satu enggak, kok bisa-bisanya bagus yang nggak lihat. Setelah mikir dan beberapa kali eek akhirnya dapat deh hipotesa awal,
Otak anak Indonesia terbiasa hafalan daripada menganalisa. Sejak SD gue selalu dilatih hafalan, ulangan harian menghafal rumus dan teori, ulangan tengah semester menghafal apa yang dihafal di ulangan harian, ulangan akhir semester menghafal semua kegiatan selama satu semester.

Ya namanya juga otak, akan jadi seperti apa ya tergantung melatihnya dengan cara bagaimana. Ya toh?
Lalu kaitannya dengan buku tertutup adalah jika buku tertutup soal-soal yang menganalisa dikurangi porsinya oleh dosen. Hasilnya adalah soal yang gampang bagi mahasiswa dengan keadaan pandai menghafal.
Indikasi gampang itu apa coba?
Iya, sesuatu menjadi gampang ketika kita tahu cara mengerjakannya dan jika tahu caranya pasti pernah mencoba.
Jadi, soal-soal saat ujian dengan buku tertutup adalah soal yang pernah dikerjakan oleh si mahasiswa. Itu lho kenapa nilainya banyak yang bagus, karena memang terbiasa menghafal dan memang pernah mengerjakan.

Coba deh buku terbuka, tapi soalnya menganalisa. Isinya variasi, isinya soal-soal yang belum pernah dikerjakan. Yasudah. Tinggal merencanakan mau mengulang mata kuliah semester berapa.

Itu tadi perkara ujian.

Lalu mahasiswa yang suka mengeluh kayak gue.

"Dih, apaan sih laporan praktikum kayak bikin skripsi!"
"Yaelah bro, gue nggak pernah tidur."
"Mana ada waktu buat main pes, kuliah terus."

Hipotesa kedua,
mahasiswa yang mengeluh karena dunia kuliah susah dan melelahkan adalah yang tidak menikmati ilmunya, coba ngapain hayo kalau kuliah saja tidak menikmati ilmu di dalamnya? Ya, semua masalah IPK.

Gini ya putra-putri bangsa, seumpama gue kuliah dan berhasil mencapai suatu titik prestasi. Percaya sama gue orang yang nggak kuliah butuh usaha lebih besar untuk mencapai titik yang sama.
Kenapa harus merasa kesusahan dan kelelahan padahal kuliah adalah jalan hidup paling gampang bagi seorang remaja? Apa rasa takut akan IPK jelek membuat gambaran bahwa kuliah akan sia-sia?

Padahal nggak ada yang sia-sia di dalam niat yang baik bahkan ketika gue memutuskan untuk menolong orang yang diakhiri tanpa terima kasih.
Berarti benar dong tulisan gue tentang IPK kemarin? Imajinasi mereka yang mengejar IPK hanya sampai di situ? Jadi ketika itu gagal dicapai atau terancam gagal maka akan takut?

Secara default manusia kalau takut akan menghalalkan segala cara. Ya, kan? Bahkan ketika gue sama cewek gue berhadapan sama singa, gue milih ngasih cewek gue biar dimakan terus gue kabur. Hehe.
Hal paling mudah untuk mencari IPK bagus adalah nggak jujur.
Mungkin lho ya, mungkin saja orang-orang yang mengejar IPK dengan nggak jujur belum paham arti rasa bangga.
Nyontek itu asik karena lembar jawaban akan terisi dengan rapi dan benar? Sama sekali nggak asik, nggak asik ketika gue nggak tahu dimana batas kemampuan gue.

Bokap selalu bersabda, "Nggak papa dapat nilai tiga dari sepuluh yang penting itu sudah usaha terbaik.". Dari situ gue tahu bahwa yang bokap mau bukanlah nilai bagus, tapi laporan akurat sampai dimana kemampuan anaknya.

Bahkan sejak gue lahir yang orang tua mau adalah kemampaun terbaik dari anaknya, bukan menjadi terbaik di lingkungan hidup sang anak. Tapi anak-anak kadang salah mengartikan semua ini, yang mereka tahu orang tua mengharapkan supaya menjadi yang terbaik (Walaupun dalam aplikasinya memang ada orang tua yang menghendaki demikian, orang tua yang nggak paham konsep bersyukur).

Hasilnya adalah anak yang berusaha menggapai kemauan orang tuanya, sayangnya dengan segala cara. Terbiasa dengan cara yang salah membuat sang anak enjoy dalam cara hidupnya, itu lho kenapa orang Indonesia sampai-sampai dianggap bodoh oleh pemerintah. Karena orang-orang di pemerintahan sedikit-banyak tahu tentang hal ini.

Rakyat dianggap bodoh, akhrinya situs-situs sensitif diblokir. Kebodohan yang direspon dengan kebodohan. Kalau gue nggak bisa renang, bukannya gue yang diajari renang tapi kolam renangnya yang diblokir. Pemerintah.

Gue sendiri di dunia kuliah ya menikmati wong jurusan milih sendiri, biaya masih minta orang tua masa merasa terpaksa? Kurang ajar namanya.
Kalau gue bisa dapat IP bagus dengan usaha sekeras-kerasnya (Keras aja, tidur ya tetap normal, makan normal, nggak usah berlebihan pakai acara nggak tidur, nggak main pes, nggak futsal, nggak main gitar, atau bahkan sampai berhenti dari menulis) ya alhamdulillah berarti memang Tuhan menjawab doa-doa gue. Kalau ada mata kuliah yang jelek, ya diulang aja kalau ada waktu sambil berdoa semoga kejujuran bisa membawa hal bagus. Cuma gitu aja kok cara gue kuliah.

Target gue adalah menang banyak lomba, punya banyak karya, IPK bagus, dan nggak sakit.
Penting sekali untuk tetap sehat. Bayangkan kalau sakit, gue nggak bisa berbuat apa-apa.
Bahkan untuk bikin titit gue berdiri aja susah. Kan repot.

Mungkin banyak mahasiswa yang mendewakan IPK atau yang terlalu merendahkan IPK. Kan gue sudah bilang, IPK cuma indikasi. Kenapa ribet banget mengindikasikan diri kalian? Kalau memang diri kalian bagus nanti IPK juga akan bagus secara aja itu cuma indikasi dari diri kalian. Gitu. See ya!

G+

Tidak ada komentar

Silakan tulis sesuka lo dan kalau gue nggak suka ya gue hapus sesuka gue.