20 Menit di Pojok Halte
![]() |
Sumber |
Beberapa menit kemudian, sebuah bus kota berhenti tepat di depanku. Tampak seorang wanita berhijab turun dari dalam bus. Dia lalu berdiri tepat disamping tempatku duduk. Sepertinya dia berharap aku atau dua orang lainnya untuk sedikit bergeser. Memberinya ruang agar dia dapat ikut duduk di kursi halte yang cukup sempit untuk diduduki 4 orang sekaligus.
“Terima kasih.” Katanya sambil tersenyum setelah aku menggeser sedikit tubuhku untuk memberinya tempat duduk.
Aku tersenyum. Sesekali aku melirik ke arahnya kemudian merasa sedikit kagum. Dia wanita yang cantik. Selain senyumannya, hijab hijau toska yang ia kenakan juga terlihat cocok di wajahnya. Ah sudah kuduga, hijab itu memang menambah kecantikan alami dari pemiliknya. Pikirku. Terkadang aku juga berkeinginan untuk mengenakan hijab, hanya saja aku merasa belum siap. Menurutku, hijab tidak hanya untuk menambah kecantikan dari pemiliknya, tetapi yang terpenting adalah niat untuk menutup aurat dari pemakainya.
“Maaf mbak, ini jam berapa yaa?” Tiba-tiba sebuah suara yang sepertinya pernah kudengar memecah lamunanku.
“Jam tujuh lewat sepuluh.” Jawabku spontan setelah melihat ke arah jam tanganku.
“Oh terima kasih.” Balas suara itu yang ternyata adalah wanita yang duduk tepat disampingku. Lagi-lagi aku hanya membalasnya dengan sebuah senyuman.
“Kamu sedang menunggu apa sendirian di halte bus malam-malam begini?” Tiba-tiba wanita itu kembali bertanya.
“Sedang menunggu dijemput kakakku. Kamu sendiri sedang apa?” Jawabku standar.
“Sama, aku juga sedang menunggu dijemput.” Balasnya.
“Kakak?”
“Bukan. Pacarku.”
“Dia telat?”
“Tidak, aku biasanya pulang jam setengah 8. Hanya saja ini tadi aku pulang lebih awal. Tapi aku sengaja tidak memberitahu pacarku.” Jawabnya sambil memandang lurus ke depan. Aku kemudian memandanginya dan kembali bertanya.
“Kenapa?”
“Tidak ada apa-apa sih, hanya saja dia tidak pernah terlambat semenitpun kalau masalah menjemputku. Jadi kupikir tidak apa-apa kalau kali ini aku yang menunggunya.” Jawabnya.
“Padahal aku paling tidak suka menunggu.” Balasku. Dia tersenyum kemudian kembali menunduk.
“Menunggu memang membosankan bagi kebanyakan perempuan.” Jawabnya.
“Ehem.” Balasku singkat berharap itu adalah dialog terakhir yang keluar dari mulutku. Angin-angin malam yang berhembus tidak hanya membuatku kedinginan, tapi juga membuatku mengantuk.
5 menit beralu, di halte hanya tersisa aku dengan wanita itu. Aku hampir tertidur sebelum pada akhirnya, wanita itu kembai membuka percakapan.
“Kakak kamu telat jemput atau memang kamu yg pulang lebih awal seperti aku?” Tanyanya.
“Aku pulang lebih awal sih, tapi aku sudah memberitahu kakakku dari sebelum jam pulang kerja.” Jawabku menjelaskan.
“Ouwh, mungkin kakak kamu lupa.” Balasnya.
“Atau lebih tepatnya sedang ngebo.” Sambungku lalu kami sempat tertawa bersama.
“Kamu enak punya pacar yang bisa on time.” Lanjutku kemudian setelah tawa kami terhenti.
“Iyaa.. Tapi dia gak akan jadi seperti itu tanpa masa lalunya.” Jawabnya kemudian tersenyum.
Entahlah, aku pikir dia wanita yg murah senyum. Mungkin dia memang ramah pada semua orang, termasuk orang yg baru saja dia temui.
“Masa lalunya?” Tanyaku keheranan.
“Iya, masa lalunya. Mantan kekasihnya yang terakhir mengakhiri hubungan mereka karena pacarku selalu telat menjemputnya. Jadi, untuk kali ini dia tidak pernah telat menjemputku. Dia bilang dia tidak ingin melakukan kesalahan yang sama dua kali, dan kehilangan orang yg dia sayangi untuk kesekian kalinya.” Cerita wanita itu.
“Itu berarti pacar kamu benar-benar tidak ingin kehilangan kamu.” Kataku yg masih terkesan dengan ceritanya.
“Apalah artinya aku tanpa masa lalunya itu. Bahkan kalau aku ada kesempatan untuk bertemu dengan mantannya, aku ingin mengucapkan terima kasih.”
“Terima kasih?”
“Iyaa, terima kasih karena telah membuat pacarku berubah menjadi lebih baik untuk sekarang dan ke depannya, terutama untuk aku.” Lagi-lagi dia kembali tersenyum. Senyuman yang benar-benar manis, tulus dan tidak dibuat-buat.
Aku menjadi penasaran dengan sosok laki-laki yang seperti itu. Aku belum pernah menemui laki-laki yang bisa disiplin dalam mengatur waktunya. Beruntungnya wanita itu bisa mendapatkan laki-laki seperti kekasihnya itu, dan tentu saja itu karena si laki-laki itu juga merasa beruntung bisa mendapatkan wanita sepertinya.
Aku hanya terdiam mendengar ceritanya.
“Kamu tidak cemburu?” Tanyaku kemudian.
“Cemburu? Untuk apa?” Balasnya.
“Yaa karena kekasih kamu masih suka mengungkit-ungkit mengenai mantannya.” Jawabku.
“Tentu saja tidak. Dia hanya belajar.”
“Dia berubah karena mantannya, tetapi untuk aku.”
“Bukan kah begitu logikanya?” Jawabnya dengan senyuman yang panjang.
Aku pun ikut tersenyum. Kali ini ucapannya benar. Aku setuju. Lagipula, semua orang dapat berubah untuk orang yang benar-benar disayanginya. Dan masa lalu selalu hanya memberi banyak pelajaran untuk menjadi lebih baik di masa depannya. Bukan bagaimana masa lalunya, tapi bagaimana dan dengan siapalah masa depannya. Itu yang terpenting.
“Tuk.” Sebuah notif sebuah pesan singkat berbunyi. Wanita itu bergegas membuka handphonenya kemudian berkata.
“Aku sudah di jemput.” Katanya.
“Sudah?”
“Iyaa, pacarku menunggu di seberang halte.”
“Yasudah kamu duluan saja.”
“Bagaimana denganmu? Apa kakakmu belum juga memberi kabar?” Tanyanya.
“Dia sedang dalam perjalanan kok.” Jawabku. Tak lama kemudian sebuah motor ninja bernomor A1728D berhenti tepat di depanku dan wanita itu.
“Nah itu dia kakakku.” Kataku kemudian berdiri.
“Baiklah kalau begitu aku kesana dulu yaa.” Jawab wanita itu tersenyum sambil bergegas menghampiri kekasihnya.
“Iyaa.” Balasku sambil membalas senyumannya.
“Terima kasih yaa sudah menemaniku.” Katanya lagi.
“Sama-sama.” Jawabku. Aku memperhatikannya menyebrang jalan yang sudah sepi. Sampai di tengah jalan, dia berhenti kemudian menoleh.
“Mbak, nama kamu siapa?” Tanyanya kemudian.
“Rina. Namaku Rina.” Jawabku sedikit berteriak.
“Rina? Aku Khaira.” Balasnya sambil tersenyum kemudian kembali berjalan menghampiri kekasihnya. Tak lama kemudian diapun pergi bergoncengan dengan kekasihnya. Aku bergegas duduk di kursi belakang motor kakakku.
“Kenapa lama sekali?” Tanyaku sewot.
“Bangun tidur.” Jawabnya tanpa merasa bersalah.
“Jadi perempuan tadi itu kekasih baru Fadli?” Pertanyaan dari kakakku membuatku tersentak kaget.
“Apa? Fadli?” Aku seperti mendengar kakakku menyebutkan nama mantan kekasihku itu.
“Iya, tadi itukan Fadli. Kakak simpangan di lampu merah waktu perjalanan menjemput kamu. Ternyata dia juga mau menjemput kekasihnya disini.” Jawabnya polos.
Aku hanya terdiam. Dan kemudian pikiranku melayang pada Fadli dan semua percakapanku dengan Khaira 20 menit yang lalu di pojok halte ini.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar:
Bagus.
Silakan tulis sesuka lo dan kalau gue nggak suka ya gue hapus sesuka gue.