Mental dan gagal

Halo, gaes!

Beberapa hari ini gue jadi jarang nulis, semua tulisan terbengkalai, ide-ide yang gue susun sebagus mungkin agaknya mulai menunjukkan rasa jenuh mereka untuk mendatangi gue.
Gue di sini untuk menancapkan sebuah fondasi mimpi, mimpi yang seharusnya menjadikan manusia-manusia lain bahagia, gue hanya makluk Tuhan yang mungkin saja ditugaskan menjadi pelayan.
Gue ulang, mungkin saja gue diadakan hanya sebagai pelayan. Nggak masalah, selama itu baik.
Tapi tentu saja tidak semudah visualisasi dalam otak gue untuk membuat mimpi itu ada. Semuanya butuh rasa malu, butuh rasa lelah, butuh rasa dimana teman itu hanya bayangan yang tidak bisa dipegang, butuh rasa jengkel, butuh nangis, butuh menghadapi visualisasi orang lain yang berteriak bahwa kita nggak pantas.

Dibilang ingin curhat juga iya, tapi dibilang gue curhat kok ya enggak. Mbuhlah pokoknya nulis saja di sini.
Zaman sekarang, zaman semudah ini untuk belajar, zaman yang merupakan titik pertemuan antara pita generasi pemikir dengan generasi pencari membuat mereka pemilik nyawa-nyawa yang pandai tapi tidak kesampaian berubah menjadi benda hidup sok hebat, tak mau kalah, sombong ketika mendapat secuil hal bernama keberhasilan, sok tahu.
Gue harap, gue biasa saja.

Sangat susah sekali membedakan karakter dan kemampuan orang zaman sekarang, semuanya punya banyak muka. Sampai heran gue.
Tapi susah bukan berarti tidak bisa, tetap saja ada yang bisa memisahkan orang baik-hebat, baik-biasa saja, dan bego-sok bisa.
Hal tersebut bernama kegagalan.

Biarkan gue berbicara sesuka hati dan pikiran gue di sini, di blog ini, rumah gue.
Kualitas seseorang tidak pernah bisa berbohong walaupun dia sudah berusaha banyak bacot dengan teori-teori orang dan bercerita pengalaman berharga yang belum tentu dia alami.
Gue tahu semua orang itu pandai dan artinya nggak ada yang bego.
Yang membuat perbedaan di suatu bidang hanya minat, semangat, mau atau tidak belajar, dan lain sebagainya. Sudah itu saja.
Gue bisa saja jadi politikus, cuma harus bikin buku, ngebacot di twitter dan ngomentari Jokowi yang banyak salahnya, twitwar sama orang lain perihal syiah, lalu nama gue punya arti di kamus slang, bahkan nggak perlu gue tapi adek gue juga bisa.

Tapi kualitas orang bukan cuma masalah seberapa banyak apa hal yang diketahui, tuan dan nona.
Bagi gue, kualitas orang ada di mental. Bagi gue, kualitas orang terlihat ketika dia dapat masalah, responnya bagaimana, solusinya bagaimana.
Gue punya logika tandingan tentang ini, bahkan bisa mengalahkan logika

"Kalau syiah tidak haram, kenapa situ marah dikatain syiah ?"

Mental nggak perkara meminimalkan rasa malu, berani ngomong di depan banyak orang, mental lebih dari itu. Mental mungkin saja menunjukkan bagaimana Tuhan memberinya sesuatu.
Logika tandingannya gini,

"Pertama, mental mencerminkan bagaimana cara orang meminta dan menginginkan sesuatu.
Kedua, mental jelas sudah hanya terlihat ketika orang kena kegagalan dan masalah.
Ketiga, mental berbanding lurus dengan ilmu. Jadi cukup melihat mental seseorang untuk menilai orang itu bego atau tidak."

Nah pahami aja logika tandingan yang gue bikin. Dan selalu tidak lupa kalau gue salah koreksi ya.

Kembali ke perkara awal tentang manusia yang sungguhan pintar dan sok-sokan tadi.
Gue bego, serius jadi bisa saja gue hanya mengada-ada soal tulisan ini bahkan kebanyakan tulisan yang ada di blog ini.
Selanjutnya adalah mengetahui sampai mana mental seseorang....
Mental hanya seperti bahan bakar kendaraan. Yoi.
Orang yang mentalnya bagus maka akan bahan bakarnya banyak, dengan bahan bakar banyak berarti jarak tempuhnya jauh.
Ya gampang saja, kalau mau melihat orang lihat saja seberapa keras dia mengusahakan sesuatu. Itu saja. Gue bawa ke remaja nih, untuk anak yang dalam mengusahakan lawan jenis kesukaannya itu sungguh-sungguh berarti mentalnya bagus.
Dalam bahasa sederhana, orang yang mentalnya bagus yakin akhir bahagia selalu ada jika dia berusaha.

Lalu masalah barang yang dia punya, ini yang unik. Orang bermental bagus sudah bisa membedakan mana barang yang dia butuhkan dan dia inginkan.
Lihat saja barang seseorang, kalau banyak barang tapi banyak yang terbengkalai alias tidak terpakai berarti mentalnya kurang bagus. Gitu.
Ya bagaimana tidak, memilih barang saja dia tidak mampu apalagi memilih keputusan yang benar.

Lalu sangkut pautnya dengan kegagalan adalah tentang respon dia. Ini menjadi hal penting apabila kalian sedang mencari rekan kerja atau mungkin jodoh.
Cari pasangan kerja bahkan pasangan hidup sekalipun kalau mentalnya rendahan juga susah, nanti situ mlarat sebentar ditinggal gitu aja padahal memang begitu kontrak kerja dengan Tuhan, gagal sebentar.
Yang tidak kalah hebat, mental berpengaruh kepada emosi seseorang. Wah, ini sudah jelas bisa berbahaya. Misal teman lo mentalnya jelek, dia diejek tiba-tiba besoknya ada berita mutilasi yang mana headline korang mencantumkan nama elo. Serem.

Nah begitu tentang unek-unek saya perihal betapa banyaknya orang yang hobi ngebacot, mereka nggak sepenuhnya berkualitas kok. See ya!

G+

1 komentar

1 komentar:

Oke, gue personally suka tulisan ini. Beberapa waktu yang lalu gue juga menemukan orang semacam yang lo ceritain ini. Bukan hari yang paling baik memang, ketika lo sedang sakit, tapi tetep harus meladeni orang yang ngajakin lo debat tanpa substansi. Di sisi lain, gue juga harus berkaca, karena mungkin bagi dia, gue adalah orang yang meladeni debatnya tanpa substansi. Walau sejauh ini, gue rasa gue tetap "lebih bersubstansi" daripada dia.

Kalau pengalaman gue pribadi, orang yang sok-sokan ini mungkin over-confident karena keberhasilan pertamanya, hingga dia mau mempertahankannya. Yah, ibaratnya kayak tentara yang sekali menang dan pengen menang lagi, tapi nggak melakukan persiapan untuk pertahanan selanjutnya. Dia merasa sudah mumpuni dengan kemampuannya, sehingga merasa orang lain nggak mungkin bisa mengalahkannya. Sayangnya, dia nggak tahu monster seperti apa yang akan dia hadapi: gue. Haha.

Silakan tulis sesuka lo dan kalau gue nggak suka ya gue hapus sesuka gue.