Hidupmu Untuk Apa?

Sumber
Halo, bung, nona.

Bung/nona tahu tidak manusia yang bodoh bagaimana penampakannya?
Baiklah sebelum sama-sama berpikir mengenai jawaban dari pertanyaan di atas yang bisa saja berpengaruh besar terhadap IPK kita nantinya, lebih baik simak yang ini dulu.

Memasuki zaman avengers bagian kedua, tentunya kita tidak boleh ketinggalan dengan tren yang ada saat ini. Apa? Ya, muncak di gunung, traveling, jalan-jalan, backpacker-an, atau sekedar touring ke tempat-tempat yang dianggap eksotis di Indonesia kesayangan ini.
Tapi tunggu sebentar bung, coba renungkan potongan teks wawancara yang saya ambil dari sini. Wawancara terjadi dengan mas Dhani sebagai narasumber. Jika ragu apakah dia manusia atau tidak, googling saja. bukannya google sudah itu menjadi Tuhan sekundermu perihal menemukan jawaban?

"Demam traveler itu repetisi dari obsesi penindasan masa kolonial. Jka dulu kredonya Gold, Gospel And Glory. Maka sekarang Instagram, Buku dan Folowwer. Nah, traveler hari ini melihat destinasi hanya sebagai sebuah daerah taklukan. I came, i photo, i tell it for my follower and get money from it. Itu relasi penaklukan total. Bedanya kalau dulu JP Coen pas datang ke Jawa gak bawa I-phone buat posting di Instagram. Sekarang kebanyakan, 99 % dari traveler hanya memuaskan ego untuk penaklukan destinasi. 
 
Belum soal bicara taik kucing soal makanan, budaya dan omong kosong lainnya. Belanda datang karena rempah, dia bilang “Wow makanan inlader keren dan unik” apa bedanya dengan “Cita rasa makanan lokal begitu eksotis” ?

Atau “Wow pemandangan nya sangat indah lo semua harus datang ke mari” ?apa bedanya dengan kabar ketika Marcopolo balik ke Spanyol terus bilang “Kami menemukan dunia baru yang barbar penuh dengan keindahan dan emas” sampai melahirkan tragedi pembantaian di Amerika Latin oleh bala tentara Cortes. (Cortes yang dimaksud adalah Hernan Cortez, yang menaklukkan Tenochtitlan)

Jika dahulu yang direbut adalah emas dan rempah. Maka sekarang identitas sosial dan lokasi hidup. Be good traveler, datang gak usah pake pamer dan cerita-cerita itu simpen buat diri sendiri. Karena gak semua orang bisa sebijak kalian yang datang cuma buat diving, buat menikmati bercengkrama dan menikmati waktu secara wajar. 


Gak semua orang punya otak buat memperlakukan masyarakat lokal dengan setara. Miskin dan bodoh bukan berarti tidak bahagia. Berapa ribu orang Papua yang mati dulu gara-gara Pak Harto mewajibkan mereka pake sabun dan pake baju? Ternyata tubuh resisten orang papua terbangun dari daki dan lumpur yang mereka pakai.

Kita gak tau apa masalah lokal dan jangan sok tau bilang dengan pariwisata orang bisa makmur. Penyakit dari traveler yang melihat lokasi eksotis dan kemiskinan hari ini menggeneralisasikan penilaian atau melakukan justifikasi terhadap sesuatu atau fenomena yang kenyataannya sangat kompleks dan tak bisa dibicarakan secara simplifikatif.
Itulah, tapi asline yo iri mergo ra iso mlaku2 sisan."

Lho, bukan saya lho yang nulis. Saya cuma berusaha berbagi saja. Kebetulan isinya sama dengan apa yang ada di kepala.

Baiklah, sekarang mari kita jawab perwujudan orang-orang yang bodoh tadi.
Ya, orang bodoh adalah orang yang menjawab, "Ah asu, dia itu cuma iri karna nggak bisa jalan-jalan."

Tunggu sebentar, sek to ah sebelum kalian menghakimi, jawaban yang saya bikin tadi juga berdasarkan halaman yang sama. Jadi kalau tidak terima, ingin protes, ingin macarin saya mukul, ya monggo ke yang bersangkutan.
Saya cuma berbagi dan kebetulan sama dengan isi kepala. Lho enak to?

Lagian, seumur hidup saya jalan-jalan ke sana-sini juga jarang kok foto-foto, sekalinya foto ya terus dihapus. Lha gimana, blur semua. Haha.
Kalau bagus ya dinikmati saja. Lha apa kalau situ nemu cewek yang enak terus difoto dan dishare di instagram? Andai bung sebejat itu, akhirnya cewek tadi hanya diperkosa habis-habisan demi memuaskan hasrat semata. Sekali lagi, tulisan ini hanya berdasarkan halaman tadi, sepenuhnya. Sumpah tidak ada improvisasi sama sekali. Kebetulan sama dengan isi kepala.

Mungkin segitu dulu basa-basinya. Mari ke inti tulisan yang semoga saja murni pemikiran saya.
Hidup kita untuk apa?

Katakanlah kita punya anak. Cie kita.
Dia sudah berumur dua tahun dan mulai memasuki masa keemasan, kata dokter-dokter. Ya, kalau bung/nona adalah orang tua yang waras tentu saja akan mulai mengajarinya makan dengan sendok dan garpu, bukan dengan palu dan arit.
Lalu apalagi? Membawanya ke tempat bermain supaya tahu kalau dunia itu panas dengan paha yang siap elus dari mbak-mbak pemilik sepatok tanah di neraka, tidak damai seperti di dalam rahim.

Beberapa tahun kemudian mengenalkannya ke sekolah. Sebuah institusi kesia-siaan yang membuat teman saya sebut saja Amal terdistorsi jalan pikirnya.
Loh bagaimana tidak? Dia masuk smp negeri, smk jurusan rangkaian perangkat lunak yang artinya selalu bercumbu dengan komputer, eh kuliahnya di sastra.
Maka jangan kaget suatu saat menemukan orang bernama Amal ini pendidikan terakhirnya bukan sastra, bisa saja pindah ke psikologi dan setelah lulus menjadi musisi atau ustad.
Tapi kata mas Dhani di halaman tadi, memang kesia-siaan seperti itu yang akan membawa kita ke hal yang sebenarnya kita cari. Saya setuju? Ah biasa saja.

Apa sehina itu diri ini sampai menjadikan teman sebagai bahan tulisan? Tentu saja tidak, lha dosen, mantan, pacar, guru, sekolah, hingga presiden saja pernah kok, masa teman tidak bisa.

Dari semua perbincangan ini, apa yang bung/nona dapatkan? Tidak ada? Ah elah, tolong jangan keterlaluan ketika menjadi budak kapitalis pencari harta, jangan terlalu mudah dibawa oleh pergeseran arus kehidupan.
Bolehlah menjadi budak, tapi tidak bisa memahami tulisan ini adalah hal mungkar yang bisa saja mendapat sanksi hukuman mati.

Gini, hidup kita adalah kanal pembawa informasi untuk generasi berikutnya. Syukur-syukur bisa lebih, menjadi penemu informasi baru misalnya. Ibarat pipa, selain mengalirkan air eh diri kita ini memberikan tetes-tetes tambahan.
Kita hidup tidak lebih untuk menjaga kelestarian budaya makan didahului dan diakhiri dengan doa, kita hidup untuk memberi tahu anak-cucu kita supaya ngerti bahwa jangan megang travo tegangan tinggi karna nanti bisa mati. Gitu.
Untuk menjadikan dunia lebih baik perlu proses dari generasi ke generasi, perlu adanya aliran informasi-informasi penting supaya generasi berikutnya tidak perlu mengulang hal yang pernah dilakukan, tidak perlu mendapati kesalahan yang pernah dilakukan.

Nah itu hidup. Alangkah baiknya jika bisa menyebarkan informasi dengan baik ke generasi di bawahnya, yang banyak, yang berguna. Itu baru pengertian sahih soal bermanfaat.
Jika ditanya apa hal yang Indonesia butuhkan sekarang, maka jawabannya adalah kanal yang banyak, yang besar. Supaya informasi mengalir cepat dan pertumbuhan dapat dicapai dengan cepat.
Sekiranya pak presiden paham hal-hal beginian. Tapi nggak penting juga sih.

Tapi tunggu sebentar, bagaimana dengan orang yang jalan-jalan-foto-lalu update di instagram? See ya!

G+

Tidak ada komentar

Silakan tulis sesuka lo dan kalau gue nggak suka ya gue hapus sesuka gue.